Prameswara FM – Kebijakan Zero Over Dimension Over Load (ODOL) yang direncanakan berlaku penuh mulai 2025 memicu aksi protes besar-besaran dari kalangan sopir truk di Jawa Timur. Pada Kamis (19/6/2025), sekitar 700 pengemudi yang tergabung dalam Gerakan Sopir Jawa Timur (GSJT) menghentikan aktivitas operasional mereka dan berkumpul di kawasan Puspa Agro, Desa Jemundo, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo.
Tak sekadar berhenti bekerja, massa pengemudi juga menggelar aksi konvoi menuju sejumlah kantor pemerintahan, yakni Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Timur, Mapolda Jatim, hingga Kantor Gubernur di Jalan Pahlawan, Surabaya. Imbas dari konvoi truk ini membuat sejumlah ruas jalan mengalami kemacetan, terutama jalur utama dari arah Taman menuju pusat Kota Sidoarjo.
Koordinator II GSJT, Angga Firdiansyah, menyampaikan bahwa para sopir tidak menolak aturan ODOL, namun menilai implementasinya tidak sejalan dengan realitas di lapangan. Menurutnya, tekanan dari pihak industri dan kebutuhan logistik membuat sopir terpaksa mengangkut muatan melebihi kapasitas.
“Muatan besar bukan keinginan kami. Tapi permintaan dari industri dan sistem distribusi memaksa kami melakukannya,” ujar Angga dalam orasinya.
Ia juga mengkritisi ketidakkonsistenan pemerintah dalam menerapkan aturan ODOL. Proyek-proyek pemerintah sendiri, kata Angga, sering menggunakan kendaraan dengan dimensi dan beban yang melanggar ketentuan.
“Kami tidak menunjuk langsung, tapi praktik itu sudah terjadi lama. Pemerintah sendiri terkesan membiarkan,” ujarnya.
GSJT menilai kebijakan ODOL diberlakukan tanpa solusi konkret, terutama bagi sopir yang menjadi ujung tombak pengangkutan. Selain meminta evaluasi aturan, mereka juga mendesak pemerintah membuka forum dialog terbuka dengan para pengemudi, menata ulang sistem tarif logistik, serta memberi perlindungan hukum dan jaminan kesejahteraan bagi sopir.
Tuntutan tersebut bukan hal baru. Menurut Angga, keluhan yang sama telah diajukan sejak 2022 dan kembali disuarakan pada 2024, namun belum mendapatkan respon berarti dari pemerintah. Salah satu poin yang disorot adalah Pasal 277 UU No. 22 Tahun 2009, yang memberi ancaman pidana hingga satu tahun atau denda Rp24 juta bagi sopir yang melanggar ketentuan ODOL.
“Padahal sopir hanya menjalankan tugas. Beban hukum itu seharusnya tidak serta-merta diarahkan ke kami. Kami butuh perlindungan, bukan sekadar hukuman,” tegas Angga.
GSJT juga menyoroti minimnya jaminan sosial bagi para sopir. Mereka berharap pemerintah menyusun regulasi angkutan yang adil dan menyeluruh, dengan melibatkan semua pihak yang berada dalam rantai distribusi logistik nasional.
“Kalau memang ingin infrastruktur tidak cepat rusak, mari kita cari jalan tengah. Jangan hanya menghukum sopir, padahal masalah ini sistemik dan tidak berdiri sendiri,” pungkas Angga.