Di mata realtornya, Adi adalah klien yang bawel. Setiap kali datang ke rumah yang ditawarkan, hampir selalu dia bilang: “Tidak aman bencana.”

Sikap bawel yang ditunjukkan Adi, justru dinilai perlu, menurut Dr. Abdul Muhari, pelaksana tugas kepala pusat data informasi dan komunikasi kebencanaan – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Apa yang Adi lakukan adalah bagian dari upaya penyelamatan sebelum bencana terjadi, dengan menjawab tiga pertanyaan.

“Risiko bencana apa yang ada dekat rumah saya. Risiko bencana apa yang ada di sekolah anak saya. Risiko bencana apa yang ada di sekitar kantor saya,” ujar Muhari.

Muhari mengatakan, BNPB sudah membuat InaRISK. Berbekal aplikasi itu, Adi bisa mencari tahu potensi bencana di sekitar bakal rumahnya. Apakah ada banjir, tanah longsor, pergerakan tanah. Dan, apakah di sekolah di sana ada SOP banjir, dan apakah pernah ada latihan menghadapi bencana?

Muhari mengingatkan, “Kesiapsiagaan dimulai dari keluarga, pada skala yang paling kecil. Lebih kecil lagi, dimulai dari individu.”

Muhari, penyintas tsunami di Jepang pada 2011, merujuk ke tsunami tendenko, upaya penyelamatan yang menurutnya paling egois di dunia. Begitu terjadi tsunami, setiap orang diminta menyelamatkan diri sendiri. Tak usah peduli orang lain, keluarga sekalipun, karena pada saat sama, mereka pun menyelamatkan diri sendiri.

“Ketika semua orang bisa menyelamatkan dirinya sendiri, satu bangsa itu bisa selamat. Itu poin yang harus kita edukasi kepada masyarakat. Because at the case of a disaster, you at your own. Tidak ada yang bisa menyelamatkan, selain diri Anda sendiri,” tukasnya.

Kesadaran bencana masif digerakkan dua kali setahun. Pertama, pada April, terkait Hari Kesiapsiagaan Bencana dan pada Oktober terkait Bulan Pengurangan Risiko Bencana. Organisasi massa, Muhammadiyah, ikut kampanye tersebut dengan membentuk Masyarakat Tangguh Bencana, bahkan ada Keluarga Tangguh Bencana, kata wakil ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Dr. Rahmawati Husein. Namun, menurutnya, lebih banyak orang yang belum tanggap bencana.

Rahmawati Husein menjelaskan, “Tahu ada bencana, tapi tidak sadar melakukan sebuah Tindakan. Baru sampai pengetahuan ya, ada bencana, ya risiko bencana, tetapi tidak berbuah pada effort atau upaya yang dilakukan, baik secara individual atau grup.”

Rahmawati menyadari, masih banyak masyarakat yang reaktif sifatnya. Kalau sudah terjadi, baru direspons. Malahan, ada yang menganggap bencana sebagai takdir sehingga tidak usah mitigasi. Bekerja sama dengan lembaga terkait, Muhammadiyah kemudian mengeluarkan fikih kebencanaan…

“Bahwa ikhtiar itu menjadi kewajiban umat Islam. Tidak nunggu bencananya datang,” ungkapnya.

Tidak mudah untuk melihat perubahan. Tetapi semua langkah perlu terus diambil sampai terpatri dan terwujud masyarakat sadar bencana. Yang juga penting, kata Rahmawati, penegakan hukum.

“Sekolah-sekolah yang (bangunannya) tidak kuat, dicabut izinnya atau pajak dinaikkan demi memastikan keamanan peserta didik dan gurunya,” imbuh Rahmawati.

Peran guru, menurut ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Danang Hidayatullah, sangat sentral dalam menyosialisasikan kebijakan tanggap bencana. Sayangnya, sejauh ini menurut Danang, kurang dari 10 persen sekolah yang sudah melakukan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini